ASAL MULA HARIANG

Konon, ada sebuah kerajaan bernama “Tawang Gantungan”. Sang raja yang bernama Prabu Anggalarang, mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita, bernama Nyimas Prihatini. Beliau sangat mencintainya. Apalagi saat ini sedang mengandung calon putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya memimpin negara ini.
Baginda juga mempunyai seorang selir, bernama Durgandini. Dari selir ini baginda mempunyai seorang putra yang bernama Raden Setrabumi.
Durgandini berambisi ingin menjadikan putranya sebagai raja kelak. Namun itu tak mungkin bisa terlaksana karena ia hanyalah seorang selir. Karena tahta adalah milik putra dari seorang permaisuri. Kecuali kalau permaisuri tidak memiliki seorang anak. Itu pun juga mustahil karena kini permaisuri sedang mengandung seorang anak. Maka , satu-satunya jalan adalah dengan membunuh calon putra mahkota. Maka mulailah ia membuat rencana jahat dan liciknya.
Saat permaisuri hendak melahirkan di istana kaputren, Durgandini memerintahkan agar semua dayang pergi ke tamansari, untuk mencari sebuah telur emas. Padahal telur itu tak pernah ada. Itu adalah muslihat sang Durgandini agar ia leluasa menjalankan rencana jahatnya, tanpa diketahui oleh banyak orang.
Ketika jabang bayi lahir, sang Durgandini menukarnya dengan seekor anak anjing. Ia mengutus seorang dayang kepercayaan dan suaminya agar membawa jabang bayi ke hutan dan membunuhnya. Bayi itu dimasukannya ke dalam keranjang. Bersamanya dimuat pula sebuah cupu yang memuat ari-ari bayi. Bunuhlah bayi ini di dalam hutan, dan jangan sekali-kali kau membantahnya, atau kukutuk kalian menjadi batu. Itulah perintah sang selir.
Sang raja sangat malu dan murka. Ketika diketahuinya bahwa permaisuri melahirkan seekor anjing. Ia pun mengusir sang putri keluar dari istana. Permaisuri meninggalkan istana entah kemana. Tak ada seorangpun yang tahu. Ia tak pernah kembali.
Sedangkan dayang dan suaminya yang ketakutan secepatnya pergi ke hutan. Tapi ia tak tega membunuh bayi putra mahkota. Mereka pun terus berjalan ke arah utara, masuk hutan belantara.
Tibalah mereka dipinggir sebuah sungai. Sungai itu sangat dalam dan lebar. Sehingga mereka tak dapat lagi meneruskan perjalanan. Mereka pun bimbang. Membunuh bayi jelas tak tega. Tetapi jika tak dibunuh ia sangat takut pada selir dan kutukannya.
Akhirnya mereka pun memutuskan memilih menerima takdir sebagai batu sebagaimana kutukan sang selir. Maka bayi itu pun dihanyutkannya.
Benar saja, ketika bayi itu hanyut, mereka pun berubah menjadi sepasang batu yang saling berdampingan. Bentuknya menyerupai tumpeng yang amat besar. Beberapa tahun kemudian ketika terjadi banjir besar salah satu batu itu (dayang) hanyut dan kini bisa ditemui di kampung Hariang. Kami menyebutnya Batu Tumpeng. Sedangkan batu pasangannya (suaminya) kini dapat ditemui di kampung Ciparasi.
Sahdan, di hilir sungai ( cisimeut) hiduplah sepasang suami istri. Mereka adalah nini aki Pangkebonan, yang sudah lama menikah. Tapi sampai saat ini belum juga dikarunia anak. Padahal mereka sangat menginginkannya. Nini aki Pangkebonan adalah cikal bakal atau nenek moyang penduduk Hariang. Konon ia berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, yang meninggalkan kerajaan karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan. __Bersambung __
2 THOUGHTS ON “ASAL MULA HARIANG”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar